Info Harian Poloqq - Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan, adalah cerita rakyat yang sangat melegenda bagi mayoritas masyarakat di Jawa. Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sesuai namanya, yakni Jaka (pemuda atau bujang) dan Tarub yaitu desa atau pedukuhan Tarub, mengandung arti seorang pemuda asal desa Tarub.
Sementara Dewi Nawangwulan sendiri adalah seorang bidadari yang turun dari Kahyangan dan bersama enam orang bidadari lainnya lalu mandi di sebuah telaga. Saat mandi itulah pakaian kadewatan milik Nawangwulan dicuri Jaka Tarub, hingga ia tak bisa kembali ke Kahyangan.
Jaka Tarub yang menikah dengan seorang bidadari bernama Nawangwulan memiliki seorang anak gadis bernama Nawangasih yang kemudian menikah dengan Bondan Kejawen anak dari Prabu Brawijaya dari Majapahit. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Ki Ageng Getas Pendawa. Agen Bandarqq
Ki Ageng Getas Pendawa memiliki seorang anak yang bergelar Ki Ageng Sela dan merupakan kakek buyut dari Panembahan Senopati pendiri Mataram. Panembahan Senopati inilah yang nantinya melahirkan raja-raja Mataram yang hingga kini masih tetap bertahan.
Eksistensi Mataram Islam sendiri tetap bertahan dengan keberadaan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Meski demikian, cukup banyak sejarawan yang menyebutkan, riwayat Jaka Tarub adalah kisah rekaan yang sengaja diciptakan.
Sementara Ki Ageng Sela sebagai leluhur Trah Mataram memang tercatat dalam sejarah. Baik sejarah nasional maupun Babad Tanah Jawa menyebutkan, Ki Ageng Sela adalah murid dari salah satu wali tanah Jawa (Walisanga) yang sangat termashyur.
Karenanya, kisah Jaka Tarub sangat mungkin diciptakan untuk memperkuat legitimasi Ki Ageng Sela. Nawangsing yang merupakan manusia setengah dewa dari hasil perkawinan Jaka Tarub dengan bidadari Nawangwulan pun lantas 'diyakini' sebagai ibu kandung dari Ki Ageng Sela.
Menurut kegenda, Jaka Tarub sendiri adalah seorang pemuda desa yang memiliki kesaktian luar biasa. Ia sering keluar masuk hutan di sekitar gunung keramat untuk berburu binatang. Di hutan tersebut, terdapat pula sebuah telaga yang airnya sangat jernih dan segar.
Pada suatu hari, Jaka Tarub berniat untuk kembali berburu namun tanpa sengaja ia malah melihat ada tujuh wanita cantik yang sedang mandi di telaga.
Setelah mengamati cukup lama, Jaka Tarub pun merasa tertarik melihat paras cantik ketujuh bidadari tersebut. Ia kemudian mencari cara untuk bisa mengenal salah satu dari tujuh wanita cantik ini.
Setelah berfikir cukup lama, Jaka Tarub kemudian menemukan siasat, dan lalu mengambil selendang milik dari salah satu bidadari yang sedang mandi ini. Dengan cara tersebut, Jaka Tarub merasa yakin akan bisa memiliki salah satu dari gadis berparas cantik ini.
Tak beberapa lama, ketujuh bidadari ini telah selesai mandi naik dari telaga. Mereka kemudian berdandan dan kembali mengenakan pakaian layaknya bidadari. Saat bersiap hendak kembali ke Kahyangan, salah satu bidadari yang bernama Nawangwulan merasa kehilangan selendang.
Padahal, selendang tersebut adalah pakaian yang akan bisa membawanya kembali ke Kahyangan. Karena hari menjelang senja, keenam bidadari pun harus segera kembali dan terpaksa meninggalkan Nawangwulan seorang diri.
Saat Nawangwulan merasa kebingungan dan sedih tak bisa kembali ke Kahyangan karena selendangnya hilang, saat itulah Jaka Tarub muncul dan berpura-pura memberi pertolongan. Karena hari beranjak malam, Jaka Tarub kemudian mengajak Nawangwulan untuk ikut ke rumahnya.
Nawangwulan yang merasa tidak punya pilihan terpaksa mengikuti ajakan tersebut, dan keduanya bergegas melangkah menuju desa Tarub.
Seiring berjalannya waktu, keduanya saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Sebelum pernikahan berlangsung, Nawangwulan meminta syarat agar Jaka Tarub tidak menanyakan kebiasaan Nawangwulan setelah nanti menjadi isterinya.
Salah satu kebiasaan Nawangwulan yang berbeda dengan manusia biasa adalah saat menanak nasi. Saat memasak, Nawangwulan hanya menanak sebutir beras namun menghasilkan banyak nasi seperti lazimnya manusia biasa yang memasak dengan seliter beras.
Sebagai seorang bidadari, Nawangwulan memang memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia biasa. Setelah beberapa lama menjalani kehidupan rumah tangga layaknya manusia biasa, Nawangwulan kemudian mengandung.
Nawangwulan lantas melahirkan seorang bayi perempuan berparas sangat cantik yang diberi nama Nawangsih. Kehadiran bayi Nawangsih, membuat hidup Jaka Tarub dan Nawangwulan semakin bahagia.
Waktu pun terus berjalan dan lama kelamaan Jaka Tarub merasa heran karena padi di lumbung tak pernah berkurang meski setiap hari dimasak. Namun demikian, Jaka Tarub tak berani bertanya langsung karena sudah berjanji untuk tidak mempertanyakan kebiasaan Nawangwulan.
Jaka Tarub akhirnya mencoba mencari tahu dengan membuka tutup penanak nasi saat Nawangwulan tak berada di dapur karena harus menyusui Nawangsih. Saat itulah Jaka Tarub melihat di dalam periuk penanak nasi hanya terdapat sebutir beras.
Karena Jaka Tarub telah melanggar janji, kesaktian Nawangwulan pun mendadak sirna. Ia tak bisa lagi menanak nasi dengan hanya sebutir beras tetapi harus menumbuk padi menjadi beras dan memasaknya.
Karena digunakan setiap hari, persediaan padi di lumbung pun semakin berkurang dan menipis. Suatu hari saat akan mengambil padi di lumbung untuk ditumbuk, Nawangwulan menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Selendang yang tertimbun padi ini pun muncul karena padi di lumbung sudah mulai habis.
Setelah memperoleh kembali selendang miliknya, Nawangwulan kemudian memarahi Jaka Tarub karena selama ini berbohong dan telah mencuri selendangnya. Dengan gusar, Nawangwulan berkata,
"Jadi engkau yang telah mencuri selendangku? Tak kusangka selama ini engkau telah berbohong. Aku adalah bidadari dan harus segera kembali ke Kahyangan."
Jaka Tarub mengakui kesalahannya dan memohon agar Nawangwulan tetap tinggal dan tak kembali ke Kahyangan. Namun Nawangwulan sudah bertekad untuk kembali, meski sesekali ia berjanji akan kembali untuk menyusui Nawangsih.
"Pada waktu-waktu tertentu aku akan turun ke marcapada untuk menyusui Nawangsih," begitulah ucapan Nawangwulan sebelum kembali ke Kahyangan.
Nawangwulan pun kembali ke Kahyangan meninggalkan Jaka Tarub dan Nawangsih. Jaka Tarub yang mengasuh Nawangsih seorang diri ini kemudian dipercaya untuk menjadi pemuka desa dan bergelar Ki Ageng Tarub. Ia bersahabat baik dengan Prabu Brawijaya dari Majapahit.
Pada suatu hari, Prabu Brawijaya mengirimkan hadiah berupa keris pusaka Kyai Mahesa Nular agar dirawat oleh Ki Ageng Tarub. Hadiah keris pusaka tersebut dibawa langsung oleh dua orang utusan bernama Ki Buyut Masahan dan anak angkat Brawijaya yang bernama Bondan Kejawen. Bandarq
Ki Ageng Tarub yang memiliki mata batin ini mengetahui Bondan Kejawen sebenarnya adalah anak kandung dari Brawijaya. Tak diketahui alasannya, Bondan Kejawen pun langsung menurut saja saat Ki Ageng Tarub meminta Bondan untuk tinggal di rumahnya.
Sejak itulah Bondan Kejawen tinggal di desa Tarub dan berganti nama menjadi Lembu Peteng. Tanpa terasa Nawangsih pun tumbuh menjadi gadis dewasa yang jelita. Nawangsih kemudian dinikahkan dengan Lembu Peteng atau Bondan Kejawen.
Setelah Ki Ageng Tarub meninggal, Lembu Peteng menggantikan posisinya sebagai pemuka desa Tarub. Dari hasil perkawiana Lembu Peteng dengan Nawangsih, lahirlah seorang anak laki-laki bernama Ki Ageng Getas Pendawa yang kelak akan memiliki putera bergelar Ki Ageng Sela.
Sejarah mencatat, Ki Ageng Sela adalah kakek buyut dari Panembahan Senopati yang menurunkan Trah Mataram Islam yang memiliki pengaruh dan hegemoni kuat di tanah Jawa sejak abad 17 silam.
Meski riwayat Jaka Tarub dan Nawangwulan dianggap hanya sebuah legenda, namun sebagian masyarakat juga meyakini kebenarannya. Beberapa kelompok masyarakat salah satunya di desa Widodaren Gerih, Ngawi, Jawa Timur, menyebutkan, peristiwa pertemuan Jaka Tarub dan Nawangwulan berlangsung di desa tersebut.
Selain nama desa yang merujuk pada nama widodari (bidadari), di desa ini juga terdapat sebuah sendang yang konon dahulu kala menjadi tempat mandi tujuh bidadari yang salah satu selendangnya dicuri oleh Jaka Tarub.
Selebihnya, kisah Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan adalah bagian dari kekayaan budaya yang mewarnai khazanah budaya masyarakat Indonesia khususnya di pulau Jawa. Sudah menjadi ewajiban generasi muda Indonesia untuk menjaga dan melestarikannya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar